Lonjakan Kasus Kekerasan Seksual di Lombok Timur, Wabup: Butuh Tindakan Nyata!
RNN.com - Wakil Bupati Lombok Timur, H. Moh. Edwin Hadiwijaya, menegaskan bahwa penyuluhan semata tidak cukup dalam menangani kasus kekerasan seksual. Penegasan ini ia sampaikan saat membuka kegiatan sosialisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada Kamis, 17 April 2025. Menurutnya, langkah nyata setelah sosialisasi jauh lebih penting untuk benar-benar menekan angka kekerasan seksual di wilayah Lombok Timur.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan data dari Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Lombok Timur, H. Ahmat A. Ia mengungkapkan lonjakan kasus kekerasan terhadap anak yang meningkat dari 162 kasus di tahun 2023 menjadi 189 kasus pada tahun 2024. Sementara itu, kasus kekerasan terhadap perempuan juga menunjukkan peningkatan drastis dari 41 kasus menjadi 83 kasus dalam kurun waktu yang sama.
Melihat peningkatan kasus yang memprihatinkan ini, Wabup Edwin mengapresiasi kehadiran berbagai unsur penting dalam kegiatan sosialisasi tersebut, mulai dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Lembaga Pengembangan Sumberdaya Mitra (LPSDM), organisasi perempuan, tokoh agama, hingga perangkat daerah terkait. Ia berharap kolaborasi lintas sektor ini dapat menghasilkan langkah-langkah konkret dalam perlindungan terhadap perempuan dan anak.
“Jangan hanya berhenti di forum sosialisasi. Kita perlu aksi, salah satunya adalah seperti yang disampaikan oleh Pak Kadis, yakni pembentukan rumah aman bagi para korban,” ujar Wabup Edwin.
Ia menekankan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan kompleks yang dipengaruhi banyak faktor, seperti pendidikan, kondisi sosial, hingga tekanan ekonomi. Karena itu, pendekatannya harus menyeluruh, mulai dari penguatan regulasi, penegakan hukum, hingga gerakan kesadaran di tingkat komunitas.
Selain itu, Wabup juga menyoroti pentingnya peran media dalam membentuk persepsi publik terhadap isu kekerasan seksual. Menurutnya, cara media menyampaikan informasi sangat menentukan tingkat kepedulian masyarakat terhadap perlindungan korban.
Kegiatan sosialisasi UU TPKS kali ini juga menitikberatkan pada pemahaman tentang jenis-jenis kekerasan seksual serta ancaman hukuman yang berlaku. Kepala DP3AKB, H. Ahmat A, secara khusus menyoroti Pasal 10 yang mengatur tentang larangan pemaksaan perkawinan terhadap anak. Pelanggaran pasal ini dapat berujung pada pidana penjara maksimal sembilan tahun atau denda hingga Rp 200 juta.
“Bahkan jika pemaksaan itu dibungkus dalam nama adat atau budaya, tetap saja termasuk dalam pelanggaran hukum,” tegas H. Ahmat.
Dengan peningkatan kasus kekerasan yang terus terjadi, seruan Wabup Edwin untuk melakukan tindakan nyata menjadi sangat krusial. Sinergi semua pihak – dari pemerintah daerah, masyarakat sipil, tokoh agama, media, hingga masyarakat luas – diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang aman dan melindungi perempuan serta anak dari berbagai bentuk kekerasan seksual.(win)