Transaksi Hukum Yang Abai Pada Etika, Moral dan Akhlak
RNN.com - Ungkapan "No Viral, No Justice" menggambarkan kenyataan pahit bahwa keadilan kerap kali hanya bisa diraih jika suatu isu menjadi viral di media sosial. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya peran media sosial dalam membangun opini publik, terutama ketika hukum tak lagi berdiri tegak sebagai pilar keadilan, melainkan terdistorsi menjadi komoditas yang diperdagangkan secara bebas, layaknya barang ilegal di pasar gelap.
Sayangnya, dalam banyak kasus, yang tersisa hanya sanksi moral dan sosial, seperti mempermalukan pelaku di depan publik. Contohnya, hakim yang memberikan hukuman ringan bagi koruptor yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah, tetapi hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara. Bahkan, dalam menjalani hukuman tersebut, peluang untuk memperdagangkan keringanan hukuman sering kali terbuka lebar, sehingga vonis yang dijatuhkan bisa berakhir dengan menjalani hanya separuh dari masa tahanan.
Lebih ironis lagi, selama masa hukuman, para pelaku korupsi sering kali tetap hidup nyaman, bahkan memiliki akses istimewa untuk menikmati hasil korupsi mereka. Praktik ini melibatkan oknum aparat yang menutup mata demi keuntungan pribadi, menciptakan peluang bisnis terselubung di dalam sistem yang seharusnya menegakkan keadilan.
Bagi rakyat kecil yang melakukan pelanggaran hukum tanpa memiliki akses atau uang untuk "membeli kebebasan," situasi ini terasa sangat tidak adil. Hal ini seolah menjadi pesan tersirat bahwa jika seseorang ingin melakukan korupsi, maka lakukanlah dengan skala besar agar dapat "membayar" kenyamanan di balik jeruji, yang pada akhirnya hanya menjadi formalitas untuk meredam kritik masyarakat.
Ketika para penegak hukum—termasuk hakim—berselingkuh dengan pelaku kejahatan yang dilakukan secara terstruktur, sistemik, dan masif, kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum perlahan runtuh. Sulit bagi logika sehat untuk tetap percaya bahwa mereka adalah "wakil Tuhan" yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan.
Sikap bijak yang dapat diambil adalah menjaga diri agar tidak terkontaminasi oleh praktik-praktik tidak bermoral. Tetaplah teguh pada prinsip bahwa segala sesuatu yang diperoleh dengan cara tidak halal tidak akan membawa berkah, bahkan berpotensi menjadi bumerang bagi diri sendiri dan keluarga. Harta yang diperoleh dari jalan yang salah dapat membawa malapetaka, mulai dari kehancuran rumah tangga, anak-anak yang gagal memberikan manfaat bagi masyarakat, hingga keterlibatan keluarga dalam perilaku menyimpang seperti narkoba atau tindakan amoral lainnya.
Lebih miris lagi, rasa malu yang dulunya menjadi benteng moral masyarakat kini kian terkikis. Etika, akhlak, dan nilai-nilai agama sering kali terabaikan, tergantikan oleh ambisi mengejar kebutuhan duniawi yang memabukkan.
Kita hanya bisa berharap bahwa kesadaran kolektif masyarakat untuk menjaga kejujuran, keadilan, dan integritas tetap menjadi pijakan dalam membangun bangsa yang lebih bermartabat.
(Jacob Ereste)