KSPI dan Partai Buruh Tuntut Kenaikan Upah Minimum 2025 Hingga 10%, Tolak PP Pengupahan
RNN.com - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, mengumumkan bahwa pihaknya akan menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di seluruh Indonesia untuk menuntut kenaikan Upah Minimum Tahun 2025 sebesar 8-10% dan menolak Omnibus Law atau Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Namun, ia menegaskan tidak akan ada aksi demonstrasi menjelang pelantikan pemerintahan baru pada 20 Oktober 2024.
"KSPI dan Partai Buruh menegaskan tidak akan ada aksi hingga pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2024," kata Said Iqbal dalam konferensi pers daring pada Jumat (18/10/2024).
Aksi demonstrasi ini akan dilakukan secara serempak dan bertahap selama satu pekan, dari 24 hingga 31 Oktober 2024, yang melibatkan ratusan ribu buruh di seluruh Indonesia, mencakup 38 provinsi dan 350 kabupaten/kota.
"Aksi akan dilaksanakan di setiap daerah, ada yang serentak, ada juga yang bertahap. Misalnya, pada 24 Oktober akan dimulai di Jakarta di depan Istana, dengan ribuan buruh yang akan turun. Lalu, pada 25 Oktober, giliran buruh di Jawa Barat dan Kepulauan Riau, khususnya Batam. Aksi akan berlanjut pada 26 Oktober, kecuali hari Sabtu dan Minggu," jelasnya.
Said Iqbal, Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, menegaskan bahwa serikat pekerja menuntut agar kenaikan Upah Minimum Tahun 2025 tidak ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. Ia mengusulkan agar kenaikan upah tersebut berada pada kisaran 8-10%.
"Kami menolak penggunaan PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. Partai Buruh, KSPI, KSPSI AGN, FSPMI, dan seluruh serikat buruh telah mengajukan judicial review terhadap UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, yang menjadi dasar dari PP Nomor 51 Tahun 2023. Sementara proses pengujian masih berlangsung, tidak seharusnya PP ini digunakan sebagai acuan penetapan Upah Minimum 2025," jelas Said Iqbal.
Dasar perhitungan kenaikan tersebut, lanjutnya, didasarkan pada inflasi yang diperkirakan mencapai 2,5% dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,2% pada tahun 2025.
Jika kedua angka tersebut digabung, inflasi dan pertumbuhan ekonomi menghasilkan total 7,7%. Selain itu, buruh di kawasan industri pada tahun 2024 mengalami kondisi di mana biaya hidup meningkat, tetapi kenaikan upah tidak sebanding.
Contohnya, di kawasan industri seperti Jabotabek, inflasi tercatat 2,8%, sementara kenaikan upah hanya sebesar 1,58%. Artinya, buruh harus menutupi kekurangan biaya hidup sekitar 1,3%. Dengan demikian, usulan kenaikan 8% dianggap logis, karena menggabungkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, serta tambahan faktor "nombok" sebesar 1,3%.
Selain itu, disparitas upah juga menjadi perhatian. Di wilayah-wilayah yang berdekatan, terdapat kesenjangan upah yang signifikan. Misalnya, upah di Karawang lebih tinggi dibandingkan di Purwakarta, dan upah di Purwakarta lebih tinggi daripada di Subang. Untuk mengurangi kesenjangan ini, ditambahkan faktor disparitas sebesar 2%.
Said Iqbal juga menyoroti konsep batas bawah dan batas atas dalam PP tersebut, yang dinilai tidak sesuai dan tidak pernah diatur dalam undang-undang sebelumnya, termasuk Omnibus Law Cipta Kerja. Ia menegaskan bahwa rumus yang digunakan oleh BPS dan Kementerian Ketenagakerjaan dinilai menyesatkan publik dan memperburuk kesejahteraan pekerja.
Said Iqbal menekankan bahwa daya beli buruh telah menurun selama lima tahun terakhir. Berdasarkan temuan Litbang KSPI dan Partai Buruh, upah riil buruh mengalami penurunan sebesar 30% dalam periode tersebut, yang berarti daya beli buruh juga turun sebesar 30%. Bahkan, selama tiga tahun terakhir, kenaikan upah tercatat nol persen, dan dalam dua tahun terakhir, kenaikan upah berada di bawah tingkat inflasi, yang secara otomatis mengurangi nilai riil upah buruh.
Dalam lima bulan terakhir tahun 2024, terjadi deflasi yang mengindikasikan penurunan daya beli masyarakat. Bagi kalangan menengah atas, deflasi menunjukkan bahwa mereka telah menggunakan sebagian besar tabungan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar, yang menyebabkan berkurangnya konsumsi barang sekunder dan tersier. Sementara itu, bagi kalangan menengah bawah, termasuk buruh, petani, nelayan, dan pekerja lainnya, deflasi terjadi akibat pendapatan yang stagnan dan harga barang yang terus naik, memperburuk penurunan daya beli.
(Aws)